Saya lagi berada di Kabupaten Malaka, daerah yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste ketika diminta untuk support kerjaan di Wai...
Jalinan Tali Kasih Ala Sabu

Jalinan Tali Kasih Ala Sabu

Pernah mendengar tentang seseorang yang belum pernah menginjakkan kaki ke daerah suku asalnya? Seringkali keterbatasan akan beberapa hal atau tidak adanya waktu dan kesempatan sajalah yang menjadi alasan. Mungkin terdengar biasa saja namun lirih di dalam hati. Keinginan untuk mendatangi tempat asal leluhurpun terendap dalam kerinduan.
Rumah adat Sabu NTT
Ungkapan Soekarno benar adanya. "Jika kita memiliki keinginan yang kuat dari dalam hati, maka seluruh alam semesta akan bahu membahu mewujudkannya". Cerita berikut ini mungkin salah satu dari sekian kisah yang pernah ada.

Pagi itu saya yang sudah pasti akan berangkat ke Pulau Sabu masih terus melobi manajer area untuk membawa mobil operasional. Dengan demikian driverpun tentunya akan turut serta ikut ke pulau impiannya.  Ferdinand adalah driver kantor sekaligus rekan se tim yang selalu menemani di setiap aktivitas. Sekian lama waktu membangun asa demi keinginan hatinya untuk ke Pulau Sabu, tempat asal leluhurnya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mungkin inilah kata yang pas untuk menggambarkan kondisi saat itu ketika yang diharapkan berjalan lancar lebih dari yang di rencanakan. Pintu fery ASDP perlahan mulai terangkat ketika mobil yang di driverin Ferdinand menjadi kendaraan terakhir yang parkir di geladak kapal.
Fery Penyeberangan di Sabu NTT
Saya yang terbiasa sering bepergian tanpa mengontak rekanan, keluarga dan kolega harus menerima kenyatakaan sulit mendapatkan penginapan di pulau tatkala kami harus berlabuh di pelabuhan Seba dengan kondisi jam dua dini hari. Tidur di mobil sembari menunggu pagi menjadi pilihan terakhir.
Naik Fery ke Sabu
Hari dimana saatnya mencari sanak saudara. Ruang lingkup pulaunya yang kecil memudahkan saya, ferdinand dan Rio kakanya mencari informasi. hanya perlu memastikan amunisi untuk kendaraan. Logistik bensin botolan cukup mengisi perut  avanza. Dengan bantuan teman kami menjelajahi terlebih dahulu Sabu Timur setelah itu ke Sabu Tengah. Mobil berhenti sebentar untuk menanyakan alamat. Tak di sangka wanita muda yang sedang menggendong anak kecil adalah keluarga yang di cari.
Jalinan Tali Kasih Ala Sabu
Beli Bensin Eceran Untuk Mobil
Perasaan lega dan bahagia tak terkira ketika dua orang kakak beradik berhasil bertemu rumpun- rumpun keluarganya. Ciuman sabu menjadi rangkulan terhangat kala itu. Seperti acara  jalinan talih kasih sayapun larut dalam kabahagiaan. Berziarah di kuburan kakek adalah bagian terpenting. Bercengkrama dan saling bertukar cerita hingga larut malam. Tak ketinggalan jamuan makan adat. Keesokan harinya diajak dan ditemani ke tempat-tempat wisata membuat hari-hari menjadi lebih menyenangkan.
Jalinan Tali Kasih Ala Sabu
Makan Adat Sabu
Waktu terasa singkat ketika mulai betah berkeliling pulau. Aktivitas pekerjaan telah berakhir, bertepatan dengan jadwal kapal yang lebih cepat untuk menghindari cuaca ekstrim di musim angin barat. Harmony telah tercipta ditengah keluarga. Kenangan manis sudah dirajut. Gula air dan kain etnic menjadi cinderamata. Bagaimanapun jangan melupakan tanah leluhurmu. Karena dari sanalah cikal bakal asal usulmu. Terima kasih Pulau Sabu. Terima kasih pernah membuat kenangan. "Tanah leluhur engkau kuhargai".
Jalinan Tali Kasih Ala Sabu
Berkunjung ke pantai Rae Mere
Baca selengkapnya »
Jejak Gadjah Mada Di Kelabba Madja Pulau Sabu

Jejak Gadjah Mada Di Kelabba Madja Pulau Sabu

Jejak Gadjah Mada Di Kelabba Madja Pulau Sabu
Jejak Gadja Mada Di Kelabba Madja Pulau Sabu - Saya teringat akan pesan dari percakapan whatshap tatkala hendak berangkat ke negerinya para ama-ama dan ina-ina. "Okee...Akuu titip Kelabba Madja yaa". Bukan lazimnya nama sebuah oleh-oleh dalam bentuk barang melainkan foto-foto dan cerita akan destinasi wisata.

Hari kedua di Pulau Sabu saya mencoba mencari titik lokasi pekerjaan yang searah dengan rute ke lokasi tersebut. Meskipun topografi permukaan wilayah Pulau Sabu yang sebagian besar bukit-bukit kapur, dengan kemiringan 45 derajat namun ketinggiannya yang tidak kurang lebih dari 250 meter sangat memudahkan untuk mengakses kelokasi dengan kondisi saat ini.
Jejak Gadjah Mada Di Kelabba Madja Pulau Sabu
Pahatan gunung batu membentuk jalan menambah kesan tersendiri selama perjalanan. Di beberapa tempat disepanjang jalan tumbuh pepohonan lontar dan pohon kelapa seakan menjadi pagar hidup pekarangan rumah menjadi ciri khas pulau ini.

Makna Nama Kelabba Madja

Dari semua hamparan bukit, terfokuslah pusat perhatian para milineal saat ini ketika berada di Sabu. Pemandangan lereng dengan kondisi yang curam. Sepertinya kala itu longsoran telah merusak permukaan tanah sehingga membentuk rupa bumi berwarna dominan putih. Kelaba Madja artinya tanah putih. Orang-orang terdahulu sepertinya menamakan sebuah tempat berdasarkan kondisi disekitar yang dilihat dan apa yang dirasakan disekelilingnya.
Jejak Gadjah Mada Di Kelabba Madja Pulau Sabu
Menurut kepercayaan setempat Kelaba Madja adalah tempatnya pemujaan Gadjah Mada. Konon di kisahkan oleh Ama Hari petugas pengelola tempat tersebut, Kelabba Madja dibentuk oleh seorang yang bernama Banni Kedo mereka berencana membuat perahu yang materialnya diambil dari tempat tersebut. Menarik untuk menyusuri jejak Gadjah Mada, apakah benar pernah mampir di Pulau Sabu. Saya yang bukan ahli arkeologi hanya berusaha mengingat kisah legenda Gadjah Mada yang ingin mempersatukan nusantara.
Jejak Gadjah Mada Di Kelabba Madja Pulau Sabu
Apapun cerita di balik asal usul kisah terbentuknya, fenomena wisata alam Kelaba Madja telah hits di kalangan wisatawan lokal. Berlebihan memang bila di sejajarkan atau diibaratkan dengan destinasi alam lain yang sudah mendunia. Meskipun begitu maha karya agung melukiskan ciptaannya dengan berbagai karakteristik kemiripan suatu tempat dengan tempat lainnya. Tentunya dengan keunikan masing-masing yang berbeda.
Jejak Gadjah Mada Di Kelabba Madja Pulau Sabu
Saatnya memviralkan obyek wisata alam di pelosok daerah manapun dengan beretika. Selain menikmati keindahan alamnya, tentunya turut ikut serta berkontribusi secara positif. Terakhir meminjam kata-kata yang dituliskan di pohon.

"Tak kenal maka tak sayang, tak kunjung maka tak tahu".

"Beta sudah hits karena sudah ke Kelabba Madja".
Baca selengkapnya »
Kedap Kedip Mata Pantai Liman

Kedap Kedip Mata Pantai Liman

Kedap Kedip Mata Wisata Pantai Liman - Seiring peradaban manusia, travelling sudah menjadi lifestyle. Kalau mau dibilang bak pandemi yang mewabah dalam artian positif hampir disemua kalangan. Sebagian orang memikirkan tujuan destinasi, mempersiapkan tabungan bepergian dan mencari waktu buat liburan. Beberapa mencari sponsor perjalanan. Adapula yang mensiasati dengan cara bekerja sekalian jalan-jalan atau travelling sambil bekerja.

Paska covid19 disaat hampir sebagian orang mereschedule kegiatan menuju new normal termasuk menunda waktu liburan dan mengganti tujuan destinasi. Saya mendapat kesempatan bekerja sambil jalan-jalan lagi. Mungkin benar "tujuan bukanlah suatu tempat, namun sebuah cara pandang baru". Dan tempatnya adalah Pulau Semau. Pulau yang baru pertama kali ini akan saya datangi dari sekian pulau yang saya pernah kunjungi. Ironis memang ketika pulau yang tak kelihatan mata disambangi ketimbang yang tampak mata. Pulau dipelupuk mata berdurasi setengah jam penyeberangan menggunakan perahu motor.

Wisata Pantai Liman

Ketempat baru selalu menantang dan menyenangkan. Karna nantinya akan menjadi bagian dalam diri sebagai bekal pelajaran hidup. Pulau Semau tidak asing untuk masyarakat NTT. Pulau yang katanya keras. Pulau yang juga tempat asalnya Gubernur NTT Viktor Laiskodat. Politisi yang bagi sebagian banyak masyarakat NTT sangat fenomenal.

Angin, gelombang kecil, matahari pagi dan deru mesin perahu motor berganti terik panas Pulau Semau. GPS menuntun Perjalanan ke Semau Selatan. Disanalah lokasi Pantai Liman yang belakangan Viral di masyarakat Kupang. Jalan yang tak mulus, sebagian aspal berlubang dan masih bertanah putih bukan hal baru dan aneh bagi saya. Memang masih hampir sebagian besar obyek wisata di NTT masih berbenah. Akses jalan belum memadai. Mau tidak mau suka tidak suka harus menikmati perjalanannya. Sambil mengingat tulisan kocak yang menghibur "nikmati jalan berlubang". Digaskan saja. Dengan kondisi jalan beradventure butuh dua jam untuk sampai di desa Uituhtuan tempat lokasi pantai nan cantik bersolek.

Wisata Pantai Liman

Kalau perjalanannya saja sudah dinikmati apalagi obyeknya wisatanya. Tinggal dinikmati saja. Pantai ini termasuk pantai yang paling komplit menurut saya dari unsur panorama alamnya. Pasir halus yang bisa berubah warna putih kemerahan. Bibir pantai yang melengkung. Tonjolan bukit gundul. Pun batu karang yang dihempaskan gelombang. Eksotiknya menonjol, keunikannya ada, ketenanganpun dapat. Saya merasa terdampar di sebuah pulau kosong karena ketenangan pantainya.

Tak jauh mata memandang sebuah pulau kecil. Desas desusnya akan dijadikan sebuah kasino. Geliat masyarakat desa setempat ikut terasa menyambut dengan bersemangat meskipun harus dengan tatanan kehidupan baru. Terpancar wajah penuh harapan Bapak Yunus, tua adat dan kadis pariwisata yang sempat saya kenal. Terima kasih untuk tawaran menginap di cottage dan undangan makan daging rw dari bapak berdua. Kelak tempat ini akan familiar dengan ciri khas orang-orang setempat yang keras namun terbuka dan bersahaja.

Wisata Pantai Liman

Suatu saat saya akan kembali disana untuk bermalam. Sungguh akan sangat lebih baik melihat sesuatu satu kali, dari pada mendengarnya ribuan kali. Ayoo "Jangan percaya apa yang mereka katakan. Pergi, datangi, dan lihatlah sendiri"
Baca selengkapnya »
Akhir Kesan Kisah Naif di Tanah Sandalwood

Akhir Kesan Kisah Naif di Tanah Sandalwood

Jangan mengingat kebaikan yang pernah kamu lakukan,
tapi ingatlah kebaikan yang orang lain lakukan kepadamu. 

Medio tahun 2000an, saya mencoba menarik lorong waktu bebera tahun silam. Waktu itu masa liburan. Tetiba saya diajak Umbu Yanto teman kos untuk mudik balik kampung naik kapal laut. "Ayo ikut pulang. Nanti turun di Sumba, baru lanjut ke Kupang pakai fery penyebrangan". Ajakan yang tanpa rencana sebelumnya. Tanpa ada informasi kepada orang tua di kampung. Saya yang baru pertama kali merantau dan kangen keluarga seakan terhipnotis dengan ajakan tersebut.

Awal Mulanya
Siang itu saya naik kapal laut rute Bali-Mataram-Sumba-Ende-Kupang. Perjalanan yang membuat saya beberapa kali hampir mengurungkan niat karena tidak punya ongkos tiket yang cukup. Terbesit rasa takut di lempar ke laut oleh ABK Kapal.  Perasaan saya saat itu seperti kapal yang selalu di ombang-ambingkan.

Butuh nyali dan nasip baik untuk mengelabui para ABK saat pemeriksaan tiket di pelabuhan Mataram. Saya yang ragu-ragu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Kupang atau turun di Sumba sesuai rencana awal, akhirnya kehilangan kontak dengan teman yang sudah terlebih dahulu turun.

Kekurangan akses informasi waktu itu membuat saya tidak sempat menghubungi keluarga, ataupun kenalan di Sumba. Serasa menjadi milineal angkatan lawas. Apesnya lagi kapal penyeberangan esok harinya tidak berlayar karena cuaca buruk. Saya semakin di buat risau memandang dermaga. Ya sudah, setiap resiko adalah tantangan. Masih beruntung tidak terdampar di pulau kosong. Dengan membatin saya mencoba menguatkan hati.

Penginapan Bersahaja
Akhirnya, Yanto salah seorang dari beberapa pemuda yang saya kenal di pelabuhan mengajak saya ikut pulang bersamanya. Saya di antar ke rumah Om Kornelis Manutede. Di rumah Om Kone biasa di sapa ini saya menghabiskan liburan selama seminggu di Sumba. Om Kone adalah pria separuh baya yang masih bujangan kala itu. Dia sendiri yang memasak untuk kami setiap hari selama menginap di rumahnya. Serasa menginap di hotel dengan pelayanan langsung oleh sang pemilik hotel. Saya seorang asing yang diperlakukan bak anak raja di istana. Merasa tidak layak diperlalukan seperti tamu terhormat membuat saya enggan menetap berlama-lama. 

Dirumah ini pula hampir setiap hari berkumpul beberapa pemuda yang datang silih bergantian mengajak berkeliling kota Sumba Timur. Saya yang awalnya merasa sungkan dan tak ingin menetap berlama-lama, akhirnya menikmati trip berpengalaman yang menjadi warisan berharga dalam hidup saya.

Bersua Om Kone
Waktu terus bergulir. Namun tak lekang  di ingatan saya akan cerita ini. Terus saya kisahkan kepada keluarga, kolega dan rekan setiap kali membahas tentang Sumba. Dalam hati bergumam "suatu saat nanti saya harus berkunjung". Tahun kemarin, dua kali kunjungan ke Sumba, karena pekerjaan saya lebih banyak menghabiskan waktu di Sumba Barat. Kali ini di Sumba Timur, keinginan  ini harus segera terwujud.


Di sela-sela kesibukan, dengan menggunakan kendaraan yang di pinjam dari  teman, saya bergegas menuju tempat om Kone. Keadaan dan suasana yang sudah sangat jauh berubah membuat saya harus beberapa kali berhenti untuk bertanya. Dari halaman terlihat pria paru baya itu sedang menikmati kopi di teras depan rumah. Sungguh di luar dugaan saya. Om Kone yang saya bayangkan sudah tua dan tidak kuat lagi ternyata masih kelihatan segar. Ingatannya masih sangat kuat. Barangkali tips awet muda dilakukan dengan baik olehnya. Suasana kehangatan dirumah ini pun masih tetap seperti dulu.


Kami saling berbagi cerita. Banyak hal di ceritakan oleh om Kone dengan runtut dan jelas. Seperti lyric lagu rohani "suka dan derita silih bergantian", ada cerita bahagia adapula cerita sedih. Yanto, teman yang mengantarkan saya ke rumah Om Kone meninggal dunia dua tahun lalu. Saya kembali membatin. "Segala yang terjadi dalam hidup ini adalah sebuah misteri ilahi". "Kalau kamu baik, selain namamu yang membekas di hati orang lain adalah kebaikanmu,  juga perbuatannmu itu tidak akan mati. Ada pesan edukasi bahwa selalu ada kesempatan untuk berbuat baik. Jangan tunda untuk melakukannya. Saat melewatkannya pasti akan merasa menyesal. Teruslah menabur kebaikan. 



Baca selengkapnya »
Beranda

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *